HESTEK.CO.ID – Di tengah kekacauan yang disebabkan oleh aktivitas tambang emas ilegal di wilayah Pohuwato, muncul sejumlah kelompok yang mengklaim diri sebagai bagian dari garda terdepan dalam pengawasan.
Salah satu yang paling mencolok adalah kelompok yang kerap disebut sebagai Tim Yosar. Mereka bukan bagian dari institusi resmi penegak hukum, namun kehadirannya di lapangan kerap menyita perhatian.
Menurut sumber yang meminta namanya tidak disebutkan, Tim Yosar mulai kehilangan pengaruh dan panggung karena hadirnya kelompok lain yang lebih diterima di mata pelaku usaha.
Berbeda dengan Tim Yosar yang dikenal kaku dan formal, tim lain ini muncul dengan pendekatan yang lebih empatik, membuat pelaku tambang lebih memilih tunduk pada tekanan sosial ketimbang pada intimidasi diam-diam.
“Sekarang, yang lebih ditakuti itu bukan lagi tekanan dari aparat, tapi eksposur media. Dan itu yang membuat Tim Yosar merasa tersisih,” ungkap sumber tersebut.
Dalam upaya merebut kembali pengaruh, Tim Yosar melakukan manuver besar. Mereka mendadak muncul di lokasi tambang Dengilo, membawa label penertiban.
Namun, aksi tersebut tidak sepenuhnya murni. Menurut informasi Tim Yosar diduga kuat membawa nama oknum perwira menengah yang menduduki salah satu jabatan Kasubdit berinisial (F) di Polda Gorontalo.
“Nama oknum perwira ini sering disebut dalam komunikasi internal mereka. Di lapangan pun, mereka seolah membawa mandat langsung dari Polda untuk menakuti pelaku tambang,” jelas narasumber.
Ancaman terselubung seperti “Kami dibackup langsung oleh oknum Kasubdit (F)” atau “Kami akan hubungi atasan langsung dari Polda” mulai sering terdengar di lokasi tambang.
Ini menimbulkan kekhawatiran, karena aparat penegak hukum seolah dijadikan tameng oleh kelompok tertentu untuk mengintimidasi pelaku tambang tanpa proses hukum yang sah.
Tak hanya itu, viralnya salah satu petinggi Polda Gorontalo beberapa waktu lalu disebut bukan sebagai insiden spontan, melainkan bagian dari strategi pengalihan isu yang sengaja dimainkan oleh Tim Yosar.
Mereka diyakini sengaja menggiring opini publik ke level atas, menciptakan ilusi keterlibatan “orang besar” untuk menimbulkan kegaduhan internal, sekaligus memperlihatkan bahwa mereka masih punya koneksi yang bisa mengacaukan stabilitas jika diabaikan.
“Ini bukan lagi soal penegakan hukum. Ini soal siapa yang bisa menguasai panggung. Dan sayangnya, masyarakat dan lingkungan yang jadi korban,” tutur narasumber tersebut menutup pembicaraan.