DI TENGAH sorotan publik terhadap kinerja wakil rakyat, sebuah kabar tak sedap kembali mencuat—kali ini melibatkan salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Gorontalo yang tersandung kasus perselingkuhan. Bukan hanya mencoreng nama pribadi, skandal ini menyeret institusi legislatif ke dalam pusaran krisis kepercayaan.
Kasus ini terungkap setelah sebuah akun Instagram mengunggah bukti dugaan perselingkuhan tersebut hingga viral. Unggahan berupa chat menjadi konsumsi publik dalam hitungan jam. Tak butuh waktu lama, nama sang anggota DPRD pun viral, disorot oleh media, dan menuai kecaman dari berbagai pihak.
Publik bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang wakil rakyat, yang dipilih untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, justru terjebak dalam persoalan moral yang memalukan? Bukankah jabatan itu adalah amanah, bukan fasilitas untuk memuaskan kepentingan pribadi?
Sayangnya, kasus seperti ini bukan yang pertama. Tidak sedikit oknum-oknum anggota legislatif bahkan pejabat di pemerintahan tersandung skandal serupa, seolah menunjukkan bahwa kekuasaan kerap membuat seseorang lupa pada batas etika dan tanggung jawab publik.
Lembaga DPRD pun dituntut bersikap tegas. Bukan hanya memberikan teguran internal, tetapi juga mempertimbangkan proses etik yang transparan dan, bila perlu, pergantian jabatan demi menjaga marwah lembaga. Biarlah jabatan tinggi tidak lagi menjadi tameng bagi perilaku menyimpang.
Skandal perselingkuhan ini bukan sekadar aib pribadi. Ini adalah cermin rapuhnya integritas di tengah pusaran kekuasaan. Dan selama masyarakat masih diam atau cepat lupa, bukan tidak mungkin kisah seperti ini akan terus terulang dengan tokoh yang berbeda, tapi pola yang sama.
Perselingkuhan bukan sekadar urusan pribadi ketika menyangkut pejabat publik. Ada etika, tanggung jawab, dan citra institusi yang dipertaruhkan. Tak jarang, kasus seperti ini berdampak luas—menurunkan kredibilitas lembaga, memicu konflik internal, hingga memengaruhi kebijakan publik yang sedang dijalankan.
Banyak yang menilai bahwa kekuasaan seringkali menciptakan ruang abu-abu bagi penyalahgunaan posisi, termasuk dalam hal relasi personal. Di sisi lain, masyarakat pun semakin kritis dalam mengawasi perilaku pejabat, tidak hanya dari kinerja, tapi juga kehidupan pribadinya yang dianggap mencerminkan nilai moral seorang pemimpin.
Saat ini, banyak pihak mendesak agar dilakukan pemeriksaan etik secara transparan dan menyeluruh. Jika terbukti bersalah, sanksi tegas harus dijatuhkan agar menjadi pelajaran bagi pejabat lainnya dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. ***