Proyek Sekolah Rakyat di Kab. Gorontalo Disorot, Diduga Langgar Tata Ruang

Redaksi
Ilustrasi sekolah rakyat. FOTO IST
 

HESTEK.CO.ID – Rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gorontalo membangun Sekolah Rakyat (SR) di Kelurahan Bongohulawa, Kecamatan Limboto, memantik sorotan tajam dari berbagai kalangan.

Pasalnya, lokasi yang ditunjuk untuk pembangunan sekolah tersebut berada di kawasan Hutan Kota seluas 25 hektare, yang sejatinya berfungsi sebagai ruang terbuka hijau (RTH) dan dilindungi undang-undang.

banner 120x600

Berdasarkan penelusuran, papan informasi penanda kawasan hutan kota justru tertutup spanduk bertuliskan “Calon Lokasi Sekolah Rakyat”. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa Pemkab berupaya memaksakan pembangunan meski melanggar aturan tata ruang.

Sekretaris Daerah Kabupaten Gorontalo, Sugondo Makmur, menyatakan Pemkab telah menyiapkan lahan sekitar 5 hektare di Bongohulawa. Lokasi tersebut dipilih karena dianggap strategis, berdekatan dengan Kampus IAIN Sultan Amai Gorontalo, sehingga bisa dikembangkan sebagai kawasan pendidikan.

LSM: Ancaman Serius bagi Lingkungan

Namun langkah Pemkab mendapat kritik keras dari LSM Lingkar Pemuda Gorontalo (LPGo). Ketua LPGo, Reflin Liputo, menegaskan pembangunan fasilitas permanen di atas hutan kota akan merusak fungsi ekologis yang vital, mulai dari resapan air, penyaring udara, hingga habitat flora dan fauna.

“Kalau sampai benar dibangun di kawasan hutan kota, kami mengecam keras. Hutan kota itu ruang hijau yang dilindungi, bukan lahan proyek pemerintah,” ujar Reflin.

Ia mengingatkan, hilangnya fungsi hutan kota dapat memperparah risiko banjir, meningkatkan polusi, dan memperkuat efek urban heat island yang selama ini sudah menjadi masalah di perkotaan.

Lebih jauh, Reflin menyinggung aspek hukum. Menurutnya, pembangunan di kawasan hutan kota berpotensi melanggar UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Pasal 70 undang-undang tersebut mengatur sanksi pidana hingga 4 tahun penjara dan denda Rp1 miliar bagi pelanggar tata ruang. Sementara Pasal 109 menyebutkan pejabat yang menerbitkan izin bermasalah bisa dijatuhi hukuman 5 tahun penjara, denda Rp500 juta, hingga pemberhentian dari jabatan.

“Jika proyek ini dipaksakan, bukan hanya Pemkab yang bisa salah. Pejabat pemberi izin pun bisa dijerat hukum,” tegas Reflin.

Pemkab Ubah Sikap

Di tengah kritik publik, Pemkab Gorontalo akhirnya mengubah nada. Asisten I Pemkab, Nawir Tondako, menyebut lokasi pembangunan di Bongohulawa batal dipakai.

“Lokasi di situ tidak jadi, akan dipindahkan. Pertimbangannya berbukit,” ujarnya singkat.

Namun pernyataan tersebut justru memunculkan tanda tanya baru, jika lokasi awal memang bermasalah, mengapa sejak awal dipromosikan dan ditutupi dengan spanduk?.

Kasus ini memperlihatkan lemahnya perencanaan sekaligus transparansi Pemkab Gorontalo. Alih-alih melakukan kajian komprehensif, pemerintah daerah justru terkesan terburu-buru dan berpotensi menabrak aturan tata ruang.

Sejumlah pihak mendesak agar proyek ini ditinjau ulang dengan melibatkan publik, akademisi, dan pakar tata ruang. Jika tidak, Pemkab Gorontalo terancam menghadapi konsekuensi serius, mulai dari kerusakan lingkungan, jerat hukum, hingga krisis kepercayaan politik.

Follow Hestek.co.id untuk mendapatkan berita terkini. Klik informasi selengkapnya di sini Linktree.