HESTEK.CO.ID — Mekanisme rapat yang digelar sejumlah desa di Kecamatan Biau, Kabupaten Gorontalo Utara, menuai sorotan tajam dari warga.
Forum yang seharusnya menjadi ruang aspirasi masyarakat itu diduga hanya melibatkan segelintir orang dekat aparat desa.
Dalam beberapa bulan terakhir, pola serupa terjadi di hampir sepuluh desa di wilayah tersebut. Rapat desa digelar tanpa pemberitahuan terbuka, undangan dibatasi, dan peserta ditentukan secara selektif.
Akibatnya, masyarakat mencurigai rapat-rapat tersebut hanya menjadi formalitas untuk memenuhi kewajiban administratif.
Masyarakat Kehilangan Ruang Bicara
Warga Desa Luhuto, Mahmulid Datau, menjadi salah satu yang vokal menentang praktik tersebut. Ia menilai mekanisme tertutup ini mencederai prinsip transparansi pemerintahan desa.
“Kalau rapat desa hanya dihadiri orang-orang yang itu-itu saja, bagaimana masyarakat mau tahu arah kebijakan? Ini bukan lagi forum musyawarah, tapi pertemuan keluarga yang hanya menguntungkan kelompok tertentu,” tegas Mahmulid, Rabu (26/11/2025).
Menurutnya, banyak warga tidak mengetahui rencana pembangunan, penggunaan anggaran desa, maupun kebijakan yang dibahas. Semua keputusan dinilai dimonopoli aparat desa tanpa proses partisipatif.
“Kami yang seharusnya jadi subjek pembangunan justru diperlakukan sebagai penonton. Rapat desa berubah jadi rapat internal aparat, bukan musyawarah rakyat,” ujarnya.
Usulan Warga Mandek di Atas Meja
Mahmulid juga menilai banyak usulan masyarakat hanya berhenti di daftar rencana tanpa pernah direalisasikan. Dari pembangunan jalan lingkungan, perbaikan fasilitas umum, hingga bantuan sosial, semuanya tak kunjung ditindaklanjuti.
“Banyak usulan masyarakat tidak pernah direspons. Semua hanya berhenti di kertas berita acara. Kalau ditanya alasannya, mereka bilang ‘masih proses’ atau ‘belum ada anggaran’. Padahal dana desa itu turun setiap tahun,” katanya.
Desak Kepala Desa Mundur
Mahmulid tegas menyatakan bahwa kepala desa yang membiarkan mekanisme tertutup seperti ini sudah kehilangan legitimasi moral.
“Kepala desa yang menutup ruang partisipasi dan mengabaikan suara rakyat tidak layak dipertahankan. Kalau tidak sanggup memimpin dengan terbuka, sebaiknya mundur,” ujarnya.
Ia juga meminta Camat Biau dan Inspektorat Kabupaten Gorontalo Utara melakukan pemeriksaan terhadap pola musyawarah desa yang dianggap tidak sesuai aturan. Ia menilai sistem tertutup rawan menjadi pintu masuk penyimpangan.
“Skema seperti ini rawan manipulasi data dan laporan. Hari ini bisa rapat fiktif, besok anggaran fiktif. Kalau aparat kecamatan dan inspektorat diam, berarti mereka ikut melindungi pelanggaran,” tambahnya.
Minta Pemerintah Kabupaten Bertindak
Mahmulid menegaskan bahwa penyimpangan kecil di tingkat desa dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
“Kami tidak ingin desa kami jadi korban sistem yang busuk. Pemerintah kabupaten harus turun tangan. Jangan tunggu masyarakat berontak baru bergerak,” ujarnya.
Mahmulid memastikan bahwa dirinya siap mengumumkan secara terbuka nama-nama kepala desa dan aparat yang diduga memainkan mekanisme rapat untuk kepentingan kelompok tertentu.
“Saya akan sampaikan siapa saja yang memainkan skema ini. Kalau pemerintah kabupaten diam, biar masyarakat sendiri yang tahu siapa pemimpinnya. Ini bukan ancaman, tapi tanggung jawab moral,” tegasnya.
Mahmulid mengingatkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa wajib merujuk pada Permendes PDTT Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.
Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa musyawarah desa adalah forum tertinggi yang harus melibatkan masyarakat secara terbuka, partisipatif, transparan, dan akuntabel.














