HESTEK.CO.ID – Di balik perbukitan yang tampak sunyi di Desa Bulangita, aktivitas tambang emas ilegal berlangsung tanpa henti. Ekskavator menderu setiap hari, menggali bumi tanpa izin, meninggalkan bekas luka menganga di tubuh alam. Namun pertanyaannya bukan sekadar “siapa yang menggali?”, melainkan: siapa yang membiarkan?
Investigasi Tim Hestek.co.id selama beberapa pekan terakhir menemukan bahwa jaringan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Bulangita bukan sekadar aktivitas masyarakat lokal. Ada sistem yang rapi, ada perlindungan yang membungkus, dan ada aliran keuntungan yang mengalir ke lebih dari satu arah.
Bukan sekadar cangkul dan sekop. Di lokasi PETI Bulangita, alat berat jenis eskavator beroperasi nyaris seperti di proyek tambang resmi. Beberapa warga yang berhasil di wawancarai menyebut bahwa alat-alat itu diangkut secara bertahap pada malam hari.
Meskipun aparat pernah melakukan operasi gabungan, aktivitas PETI terus berulang. Investigasi lapangan mengarah pada dugaan adanya keterlibatan oknum, baik dari kalangan aparat, pemodal, hingga pejabat lokal.
Seorang narasumber dari kalangan mahasiswa menyebut adanya “koordinator” yang kerap memberi perlindungan kepada pelaku usaha PETI, tentunya dengan setoran puluhan juta per alat beratnya.
“Banyak yang tutup mata karena semua dapat bagian. Ini bukan cuma pertambangan emas ilegal ini sistem,” ungkap Andi, Koordinator Gerakan Mahasiswa Menuntut Perubahan (GMMP).
Penertiban yang dilakukan oleh aparat sejauh ini dinilai tidak efektif. Saat operasi digelar, lokasi tambang seringkali kosong. Alat berat menghilang seakan mengendus kehadiran petugas jauh sebelum mereka tiba.
“Nama yang paling mencuat itu Yosar Ruiba. Dia ini disebut-sebut sebagai koordinator utama para pelaku PETI, yang diduga dilindungi oleh oknum aparat penegak hukum,” tambah Andi, yang juga mahasiswa IAIN Sultan Amai Gorontalo itu.
Menurut Andi Taufik, kurangnya koordinasi antar instansi dan lemahnya data khususnya pada kepemilikan alat berat menjadi kendala serius. “Ini harus dihentikan. Tapi selama ada ‘backup’, susah.” ketusnya.
Kegiatan PETI jelas melanggar hukum. Sesuai Pasal 158 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, setiap orang yang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin dapat dipidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar.
Selain itu, karena PETI juga menyebabkan kerusakan lingkungan, pelakunya bisa dijerat UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, terutama Pasal 109 yang menyebut hukuman pidana bagi perusak lingkungan tanpa izin.
Fakta bahwa tambang emas ilegal ini terus beroperasi meski melanggar hukum dan membahayakan keselamatan warga menunjukkan betapa kompleksnya persoalan ini. Di balik satu lubang galian, ada jejak panjang pembiaran, konflik kepentingan, dan krisis kebijakan.
Pertanyaan yang kini mengemuka bukan lagi “apakah ilegal?”, tetapi “siapa yang melindungi, dan sampai kapan?”.