Maaf pembaca budiman-budiwati, cerita di atas tak sanggup saya lanjutkan. Sebagai gantinya, perkenankan saya ajukan pertanyaan sederhana: apakah kita akan mewariskan masa depan yang beringas untuk anak cucu kita? atau sedari sekarang masa depan itu kita rangkai, bagaikan menenun sebuah kain yang akan dijahit menjadi baju. Masa depan pada hakekatnya terbuka, masa depan karenanya adalah propabilitas. Sejuta kemungkinan dengan satu peluang.
Kita sadar bahwa cadangan harta bumi kita semakin tipis, namun sifat eksploitatif kita melebihi ketersediaan itu. Kontras dengan tingkah sebagian kecil warga yang sibuk mengurusi diri sendiri, mengatur penampilan di panggung kampanye, menggandakan cetakan senyum yang dipasang di tiap pohon dan perempatan jalan. Semua seperti tak pernah merasa jika umur manusia terbatas, termasuk sumber daya alam. Mereka hanyut dalam kerakusan yang tiada batas. Kota Gorontalo ini butuh perhatian dan keseriusan bersama. Harapan anak-anak masa depan ada pada kita, warga Kota Gorontalo di bulan Maret tahun 2023.
Momentum Hari Ulang Tahun Kota Goronto ke 295 pada Maret 2023 tahun ini, sudah semestinya dijadikan momentum saling bicara antar sanubari. Setiap orang (khususnya elit politik) semestinya membuka diri, menyapa antar sesama, membagi gagasan, merenungi kekurangan diri, mendiskusikan kebuntuan.
Sebab, elit yang juga tokoh politik terbaik adalah yang mempunyai potensi untuk mengubah Kota Gorontalo kita, yang mengarahkan Kota Gorontalo ini agar tidak mengarah ke jalan kebangkrutan. Kita butuh elit politik yang berkemampuan mengambil resiko, penakluk keterbatasan dan kelemahan, penerobos dinding-dinding kelaziman yang usang karena tak mampu beradaptasi dengan zaman.
Kota Gorontalo ini butuh kerjasama, bukan pertikaian, apalagi kerakusan! Kita lebih memiliki memori sinisme, yakni memori yang terprogram secara kolektif melihat setiap hal dari sisi negatif saja. Misalnya, yang berkinerja baik dicerca, yang berhasil dipatahkan, yang mudah malah dipersulit. Memori kolektif ini membuat politik kita berada di posisi yang selalu kalah sebelum berkompetisi, politik kita berada di level terburuk sepanjang masa, karena politik bukan diperuntukkan mencari jalan keluar, tetapi mencari cacat cela. Politik bukan untuk mencari kebenaran, tapi mengincar dan menguliti kesalahan!
Padahal, jika kita tarik ke masa lalu, Kota Gorontalo adalah jazirah yang memiliki modal sosial yang cukup berharga. Energi sosial-spiritual getarannya cukup kuat. Karena itu seharusnya bisa memberi perspektif dan arah lebih baik. Kota Gorontalo dikelilingi titik kosmos spiritual yang masih tersisa dari era ketika Islam ditegakkan di tanah ini. Kita bisa mengenali jejaknya dari Ju Panggola, Ta Ilayabe, Hubulo dan masih banyak nama lainnya yang bahkan lupa kita catat. Mereka bukanlah seonggok sejarah tak bernilai, nilai mereka ada pada derajat nuansa spiritual dibanding daerah di seputaran Tomini. Tak salah jika Gorontalo dijuluki Serambi Madinah, itu semacam niat, seperti doa. Apakah tradisi niat baik, ritual doa masa depan itu kita singkirkan saja? Tak ada masa depan tanpa harapan. Tiada hari esok tanpa doa bersama, semua warga jazirah ini.
Ancaman sudah di depan mata. Kebudayaan kita seperti diperkosa. Kebangkrutan budaya, perayaan modernitas dan kegenitan politik dengan segala kerendahannya menjadi pintu masuk untuk mewariskan musibah bagi anak cucu kita.
Bahaya sedang menunggu kita di tikungan. Persis di situ, kita harus memenangkan masa depan Kota Gorontalo, tak cukup satu jargon saja. Memenangkan masa depan Kota Gorontalo harus dilalui dengan membenahinya, merawat harapannya, menyuntikkan nilai spiritualnya.
APA YANG HARUS BARU DI MOMENTUM HUT KOTA KE 295?