PADA subuh yang dingin, di tanggal 19 Maret 2050. Kala itu, Kota Gorontalo sedang merayakan Ulang Tahun ke 322. Semua orang tak lagi berkerumun untuk merayakan itu. Tak ada lagi yang spesial di ulang tahun Kota Gorontalo yang ke 322.
Pada sebuah lorong, di salah satu sudut Kota Gorontalo, seorang anak terbaring lemas tak berdaya dipangkuan ibundanya, anak itu menangis karena seharian hanya disusui air putih oleh ibunya. Ayah dari anak itu adalah seorang pemungut sampah, golongan sudra jazirah ini. Ia tak punya pilihan, anaknya kehausan tak bisa menikmati susu yang dijual di gerai toko yang dingin dan nyaman. Air minum pun tak lagi jernih, sudah kabur oleh kotoran dalam tanah.
Sudah mahfum bagi warga Kota Gorontalo di kala itu, jika susu adalah barang langka dan mahal tak terkira. Di tahun 2050, harga susu lebih mahal daripada emas. Membasahi tenggorokan bayi lebih penting dibanding menghiasi diri dengan untaian emas. Di tahun 2050, warga Kota Gorontalo yang punya gudang air sama seperti memiliki berhektar-hektar kebun kelapa, sawah, cengkih.
Tahun 2050 adalah tahun di mana angka gizi buruk semakin tinggi, signifikan dengan angka kematian ibu pasca melahirkan. Gizi hanyalah pelajaran yang diteorikan di ruang-ruang kelas saat itu. Bukan kenyataan!
Belum lagi jika merasakan suhu di tahun 2050. Kota Gorontalo seperti disinari 5 matahari. Udara amatlah panas, banyak yang mati dehidrasi. Pendingin udara sangat mahal, hampir menyamai harga mobil. Mobil pun mengalami penurunan harga yang luar biasa. Warga tak sanggup lagi dengan harga premium yang mencekik. Maklum, 20 tahun sebelumnya, 2030, cadangan minyak Indonesia sudah memasuki titik kritis.
Kota Gorontalo di tahun 2050 benar-benar memasuki masa darurat. Manajemen apapun yang diterapkan selalu ditentang warga yang lapar dan haus. Setiap pemerintahan dijatuhkan hanya dalam hitungan bulan. Tak ada lagi yang berminat memperebutkan kursi Walikota. Jabatan Walikota bukan lagi rebutan di tahun 2050, karena dipastikan berhadapan dengan warga yang beringas. Di saat itu, tak ada lagi preman, semua warga tak ubahnya berkelakuan seperti preman, bahkan zombie: saling sikut, saling mangsa, dan saling rebut sumberdaya!
Di saat yang sama, orang-orang kaya harus menyewa tentara bayaran bersenjatakan senjata mesin otomatis hanya untuk mengamankan sumberdaya yang masih ia miliki. Demokrasi bukan lagi resep menarik bagi warga untuk memperbaiki kenyataan. Tahun 2050, demokrasi sekarat, karena hanya untuk hidup pada hari itu saja, seluruh warga butuh perjuangan yang berdarah-darah.
KEMBALI KE TAHUN 2023