Opini  

Jangan Kebiri Peran Kejaksaan : Benteng Terakhir Pemberantasan Korupsi

Avatar
Hari Arfhan, SH., MH
 

DI TENGAH gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Kejaksaan Agung, muncul berbagai tantangan yang berpotensi melemahkan institusi penegak hukum ini.

Salah satunya adalah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berisiko membatasi kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyelidikan dan penuntutan.

banner 120x600

Banyak pihak menilai, jika RUU ini disahkan, upaya penegakan hukum terhadap koruptor bisa lumpuh.

Kejaksaan Agresif, Koruptor Panik

Dalam beberapa bulan terakhir, Kejaksaan Agung terus menunjukkan taringnya dengan membongkar berbagai kasus korupsi bernilai triliunan rupiah.

Sejumlah pejabat tinggi kementerian, kepala daerah, dan direksi BUMN telah ditetapkan sebagai tersangka.

Kasus-kasus besar, seperti skandal pengadaan barang dan jasa di berbagai instansi pemerintah serta suap proyek infrastruktur, menjadi bukti bahwa korupsi masih mengakar kuat di berbagai lini birokrasi.

Kejaksaan, dengan segala keterbatasannya, terus membuktikan bahwa mereka tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum.

Namun, langkah Kejaksaan ini ternyata tidak diterima dengan baik oleh sebagian pihak yang merasa terancam.

Di balik layar, muncul upaya sistematis untuk melemahkan peran Kejaksaan dengan berbagai cara, termasuk melalui regulasi yang mengurangi kewenangan mereka dalam penyelidikan dan penuntutan kasus korupsi.

RUU Bermasalah : Upaya Sistematis Melemahkan Kejaksaan

Saat ini, DPR tengah membahas sebuah RUU yang disebut-sebut dapat membatasi peran Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Beberapa poin dalam RUU ini menjadi sorotan karena berpotensi menghambat kinerja Kejaksaan, di antaranya :

  1. Pembatasan Kewenangan Penyidikan

RUU ini mengusulkan agar Kejaksaan tidak lagi memiliki kewenangan penuh dalam penyidikan kasus korupsi, sehingga perannya menjadi terbatas hanya dalam tahap penuntutan. Padahal, selama ini penyidikan dan penuntutan yang dilakukan secara terpadu oleh Kejaksaan menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam mengungkap kasus besar.

  1. Pemisahan Fungsi Penyidikan dan Penuntutan

Salah satu usulan dalam RUU ini adalah memisahkan fungsi penyidikan dan penuntutan. Jika ini diterapkan, Kejaksaan tidak bisa lagi langsung menangani kasus dari awal, melainkan harus bergantung pada penyidikan lembaga lain. Hal ini berisiko memperlambat proses hukum dan membuka celah intervensi politik.

  1. Pengurangan Anggaran dan Kewenangan Teknis

RUU ini juga mengusulkan pengurangan anggaran untuk Kejaksaan, yang dapat berakibat pada berkurangnya sumber daya dalam menangani kasus-kasus besar. Selain itu, ada wacana untuk membatasi kewenangan Kejaksaan dalam mengakses data transaksi keuangan dan rekening tersangka, yang selama ini menjadi alat utama dalam mengungkap praktik pencucian uang hasil korupsi.

Jika RUU ini disahkan tanpa kajian yang matang, Kejaksaan bisa kehilangan taringnya dalam membongkar kasus korupsi besar. Masyarakat pun patut waspada bahwa ini bisa menjadi langkah mundur dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.

Jangan Biarkan Koruptor Berpesta!

Selama ini, Kejaksaan menjadi salah satu lembaga yang paling aktif dalam pemberantasan korupsi, bersamaan dengan KPK dan Kepolisian. Jika kewenangan Kejaksaan dikebiri, maka para koruptor akan semakin leluasa mencari celah untuk menghindari jerat hukum.

Masyarakat dan berbagai elemen sipil harus bersuara. Jangan biarkan aturan yang melemahkan penegakan hukum ini lolos begitu saja.

Transparansi dan partisipasi publik sangat diperlukan untuk memastikan bahwa regulasi yang dibuat justru semakin memperkuat Kejaksaan dalam memerangi korupsi, bukan malah membuat mereka tidak berdaya.

Kejaksaan tidak boleh dikebiri. Koruptor harus terus diburu. Jika Kejaksaan lumpuh, maka siapa lagi yang akan menjadi benteng terakhir dalam perang melawan korupsi?. ***

Penulis : Hari Arfhan, SH., MH.

banner 120x600

Follow Hestek.co.id untuk mendapatkan berita terkini. Klik Whatsapp Channel dan Google News.

error: Content is protected !!