Ketiga, KUHAP saat ini mengatur perlindungan hukum bagi hak tersangka dan terdakwa, tetapi belum mengatur perlindungan bagi saksi dan korban. Meski terdapat UU Perlindungan Saksi dan Korban, perlu diatur dan diharmonisasikan dalam RKUHAP sebagai lex generalis. Pemenuhan hak ini misalnya memperluas peluang permohonan ganti rugi, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi. Di lain sisi, melalui pembaruan KUHAP, perlu diatur fasilitasi bantuan hukum yang memadai bagi tersangka, terdakwa, saksi, dan korban. Pemenuhan hak atas bantuan hukum ini sangat penting karena bisa memastikan pendampingan hukum benar-benar diberikan sejak awal proses hukum.
Keempat, terkait perdebatan mengenai kewenangan pengawasan penyidikan, isu ini merupakan bagian dari perdebatan klasik dalam sistem peradilan pidana: sejauh mana kewenangan penyidik harus diawasi atau dikendalikan oleh jaksa dalam proses penyidikan?
Dalam praktik KUHAP 1981, koordinasi antara penyidik dan jaksa kerap tidak efektif dan kurang objektif, sehingga berujung pada fenomena bolak-balik berkas perkara tanpa ada kejelasan. Fachrizal Afandi bahkan menyoroti bahwa penyidikan saat ini telah kehilangan esensinya sebagai upaya mengumpulkan alat bukti untuk proses penuntutan. Sebaliknya, banyak penyidikan justru berlangsung secara tidak transparan dan rawan penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik.
Sudah saatnya peran jaksa sebagai pengawas penyidikan diperkuat. Sebagai pengendali perkara (dominus litis), jaksa harusnya lebih aktif dalam mengawasi jalannya penyidikan agar tidak terjadi penyimpangan yang berujung pada ketidakadilan. Pengawasan jaksa sejak tahap penyidikan memungkinkan penuntutan yang lebih efektif. Jaksa memiliki pemahaman menyeluruh terhadap proses perolehan alat bukti. Dengan demikian, tidak lagi relevan untuk mempertahankan pemisahan kewenangan yang terlalu kaku dalam penegakan hukum—sebagaimana yang dikenal dalam prinsip “diferensiasi fungsional”.
KUHAP Baru, Bukan Revisi
Upaya pembaruan KUHAP diwarnai perdebatan mengenai “apakah perlu melakukan revisi terhadap KUHAP yang berlaku saat ini atau membentuk KUHAP baru disertai pencabutan KUHAP lama?”
Terhadap perdebatan itu perlu dipahami bahwa perubahan hukum acara pidana bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga menyangkut semangat pembaruan sistem peradilan pidana yang modern. KUHAP yang berlaku saat ini telah berusia lebih dari empat dekade, sehingga banyak ketentuan yang tidak lagi sejalan dengan perkembangan hukum serta kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, pembentukan KUHAP baru menjadi langkah yang lebih ideal dibanding sekadar melakukan revisi KUHAP secara parsial.
Pembentukan KUHAP baru memungkinkan adanya kodifikasi yang lebih komprehensif, mengakomodasi prinsip-prinsip hukum pidana modern, serta memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dalam praktik penegakan hukum. Selain itu, KUHAP baru harus mampu menghadirkan semangat baru dalam sistem peradilan pidana yang lebih humanis, transparan, dan berkeadilan. Hal ini penting agar hukum acara pidana tidak lagi menjadi alat represif, tapi instrumen yang menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi semua pihak yang terlibat, baik tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban—sebagaimana prinsip fair trial.