RKUHAP baru bukan hanya kebutuhan normatif, tetapi juga pijakan membangun sistem peradilan pidana yang modern, inklusif, dan berkeadilan. Berbagai persoalan klasik seperti ketidakpastian dalam penyidikan, lemahnya perlindungan bagi saksi dan korban, serta masih dominannya pendekatan represif harus diperbaiki dengan pendekatan yang lebih progresif dan berorientasi pada prinsip HAM, utamanya prinsip due process of law dan fair trial.
Berlakunya UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP Nasional) sebagai hukum pidana materiil harus diikuti dengan pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil. Mengingat efektivitas penegakan hukum pidana sangat bergantung pada harmonisasi regulasi serta semangat pembaharuan sistem peradilan pidana yang berkeadilan sebagaimana yang harus diusung KUHP dan KUHAP.
Adagium klasik mengatakan “Het recht hink anter de feiten an”, yang artinya peristiwa hukum selalu tertinggal dari hal-hal yang mengaturnya (hukum). Acapkali pengaturan undang-undang cenderung tertinggal dengan dinamika hukum di masyarakat, sehingga memang perlu dilakukan pembaruan secara rutin. Begitu pula dengan KUHAP yang telah diterapkan sejak selama 44 tahun pastinya memiliki banyak norma yang tidak lagi relevan untuk dipertahankan.
Dari sejarah pembentukannya, KUHAP 1981 dianggap sebagai mahakarya bangsa Indonesia karena berhasil menggantikan keberlakuan Herziene Inlandsche Reglement (HIR)—yang merupakan hukum acara pidana kolonial Hindia Belanda. Meski begitu, KUHAP tetap perlu dievaluasi, dan KUHAP tidak boleh anti terhadap perubahan akibat pesatnya perkembangan hukum di masyarakat.
Urgensi Pembaruan KUHAP
Setidaknya ada beberapa permasalahan mendasar yang perlu diperhatikan dalam pembaruan KUHAP.
Pertama, substansi KUHAP tidak lagi relevan dengan perkembangan hukum pidana modern. KUHAP yang berlaku sejak 1981 memiliki banyak aturan yang tidak mengakomodasi konsep dan prinsip baru dalam hukum pidana modern. Misalnya penyelesaian perkara berdasarkan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yang berbasis pemulihan hak, serta belum adanya pengaturan plea bargain dan deferred prosecution agreement.
Kedua, perlu memperjelas pengaturan penyidikan supaya lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Sebagaimana pandangan Fachrizal Afandi (Kompas, 1/1/2025), pelaksanaan penyidikan selama ini masih jauh dari ideal karena minim pengawasan, sehingga tidak ada checks and balances antar aparat penegak hukum. Terkait masalah penyidikan ini, dalam pembaruan KUHAP harus diarahkan supaya memperkuat prinsip hukum pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Misal seperti yang disebutkan Fachrizal Afandi yaitu prinsip exclusionary rules dan fruit of the poisonous tree.
Selain itu, pengawasan terhadap “upaya paksa” perlu dimasukkan sebagai substansi fundamental RKUHAP. Draft RKUHAP yang beredar sesungguhnya telah mengenalkan konsep hakim pemeriksa pendahuluan yang nantinya akan memperkuat mekanisme pengawasan terhadap upaya paksa. Selama ini keabsahan upaya paksa hanya diselesaikan melalui jalur praperadilan, yang mana hakim hanya memeriksa formalisme tindakan penyidik tanpa mempertimbangkan tindakan substansial seperti legalitas perolehan alat bukti.