Opini  

Jalan Terjal Reformasi KUHAP

REDAKSI
Endrianto Bayu Setiawan, Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Peneliti Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB).
 

Pembaruan KUHAP juga harus diarahkan supaya selaras dengan KUHP Nasional yang akan berlaku pada Januari 2026. Keselarasan ini tidak hanya berkaitan dengan substansi norma, tetapi juga dalam hal struktur dan kultur sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Tanpa adanya sinkronisasi yang baik, bisa terjadi tumpang tindih norma yang justru melemahkan efektivitas penegakan hukum pidana.

Secara formal, berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, apabila perubahan norma bersifat fundamental dan mencakup lebih dari 50% dari ketentuan yang ada, maka pilihan hukum yang tepat adalah membentuk undang-undang baru, bukan sekadar revisi. Terlebih, dalam konteks KUHAP, perubahan yang diperlukan tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga mencakup pembaruan paradigma dalam penegakan hukum pidana agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan substantif. 

banner 120x600

Kemudian dari segi constitutionalism principles, pembaruan KUHAP juga harus disesuaikan dengan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi yang di dalamnya memuat konstitusionalitas norma KUHAP 1981. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut wajib dijalankan karena bersifat final dan mengikat (final and binding). Terlebih, dalam berbagai putusan MK banyak mengandung prinsip fair trial dan perlindungan HAM.

Putusan MK bukan sekadar rekomendasi, melainkan menjadi pedoman dalam pembentukan norma hukum baru, termasuk dalam reformasi KUHAP. Apabila putusan MK tidak ditindaklanjuti, pembaruan KUHAP justru akan mengulang kelemahan-kelemahan lama dan berisiko bertentangan dengan konstitusi. Banyaknya putusan MK menyangkut konstitusional KUHAP 1981, menandakan bahwa jalan terbaik pembaruan KUHAP adalah membentuk KUHAP baru, bukan revisi KUHAP lama.

Demokratisasi Pembentukan KUHAP 

Langkah DPR yang menetapkan RKUHAP sebagai prioritas legislasi perlu disambut baik. Menjadi tugas publik untuk memastikan proses pembaruan KUHAP dijalankan secara demokratis, memperhatikan kepentingan masyarakat luas, dan yang terpenting mencerminkan semangat reformasi sistem peradilan pidana. Meminjam istilah Herbert L. Packer, melalui pembaruan KUHAP, perlu ada peralihan dari crime control model menjadi due process model. 

Meski KUHAP sedikit mencerminkan due process model, akan tetapi prinsip-prinsip hukum pidana modern masih belum terwujud secara penuh dalam penegakan hukum pidana. Sehingga inilah momentum internalisasi due process model secara komprehensif.

Dalam proses legislasi yang berkembang, publik juga perlu mencermati praktik legislasi yang dijalankan Presiden dan DPR bahwa selama ini ada kecenderung yang tidak partisipatif. Hal ini dapat dilihat dari berbagai undang-undang yang disahkan tanpa proses yang benar-benar menyerap aspirasi publik secara bermakna (meaningful participation).