DI TENGAH semangat pemerataan ekonomi dan pemberdayaan pelaku usaha lokal, isu monopoli yang dimiliki sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali mengemuka. Sebagai representasi negara dalam bidang usaha, BUMN sejatinya berperan sebagai motor penggerak pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Namun dalam praktiknya, dominasi mereka di berbagai sektor strategis justru kerap menimbulkan kekhawatiran terhadap eksistensi dan pertumbuhan perusahaan lokal, termasuk di daerah seperti Gorontalo.
Hak monopoli BUMN umumnya dibenarkan dengan dalih menjaga kepentingan nasional, kestabilan harga, serta keamanan pasokan untuk kebutuhan dasar masyarakat. Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa monopoli ini kerap memicu distorsi dalam mekanisme persaingan usaha. Perusahaan lokal yang memiliki kapasitas, pemahaman pasar, dan kedekatan dengan masyarakat setempat justru sering kali tersisih dari ruang kompetisi yang sehat.
Salah satu contoh nyata terlihat pada pengelolaan Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Djalaluddin Gorontalo. Selama bertahun-tahun, bandara ini berada di bawah kendali BUMN melalui PT Angkasa Pura, yang memegang hampir seluruh rantai bisnis bandara: mulai dari parkir, logistik, pergudangan, retail, hingga layanan darat.
Perusahaan-perusahaan lokal yang ingin mengambil bagian dalam sektor pendukung tersebut menghadapi berbagai hambatan dari birokrasi yang berbelit, standar kontrak yang tinggi, hingga dominasi anak usaha BUMN yang selalu mendapat prioritas.
Akibatnya, potensi ekonomi lokal yang seharusnya bisa tumbuh melalui keberadaan bandara sebagai pintu gerbang utama Gorontalo, justru belum tergarap maksimal. Banyak pelaku usaha kecil seperti UMKM, penyedia jasa transportasi, atau operator logistik lokal gagal berkembang karena tidak diberi akses dan perlakuan yang setara.
Kondisi serupa juga terjadi di sektor lain seperti infrastruktur, energi, dan logistik, di mana proyek-proyek bernilai besar nyaris sepenuhnya dikuasai oleh perusahaan pelat merah. Sementara itu, perusahaan daerah hanya dijadikan subkontraktor atau bahkan penonton. Padahal, bila ruang usaha dibuka lebih inklusif dan kolaboratif, pertumbuhan ekonomi lokal akan jauh lebih merata dan berkelanjutan.
Keberadaan perusahaan lokal bukan sekedar soal kompetisi usaha, tetapi juga terkait kemandirian ekonomi, penciptaan lapangan kerja, hingga memperkuat rasa memiliki masyarakat terhadap pembangunan daerah. Ketika ruang usaha didominasi BUMN tanpa keadilan akses, maka ketimpangan dan ketergantungan akan semakin dalam.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah pusat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap hak-hak monopoli BUMN, terutama bila terbukti menghambat tumbuhnya kekuatan ekonomi dari akar rumput. Diperlukan keberpihakan nyata melalui regulasi yang adil, mekanisme tender yang transparan, dan kemitraan sejajar antara BUMN dan perusahaan lokal. BUMN semestinya menjadi fasilitator pembangunan, bukan pesaing yang menyingkirkan pelaku usaha daerah.
Bandara Djalaluddin dan proyek strategis lainnya di Gorontalo harus dijadikan titik awal koreksi kebijakan. Masyarakat tidak hanya membutuhkan infrastruktur fisik, tetapi juga kesempatan yang setara untuk tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Monopoli, meski dilakukan atas nama negara tetap berisiko menciptakan ketidakadilan jika tak dikontrol secara bijak. Jika hal ini terus dibiarkan, maka yang dikorbankan bukan hanya perusahaan lokal, tetapi juga masa depan ekonomi daerah itu sendiri.
(Bersambung)