HESTEK.CO.ID – Pembongkaran Icon Air Mancur Limboto bukan hanya meninggalkan ruang kosong di jantung Kabupaten Gorontalo, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar tentang arah kepemimpinan dan warisan pembangunan di daerah itu.
Bagi banyak kalangan, keputusan tersebut bukan semata urusan estetika kota, melainkan langkah yang sarat aroma politik penghapusan jejak pemerintahan sebelumnya.
Aktivis Gorontalo, Andi Taufik mengatakan, Air Mancur Limboto berdiri sebagai simbol kemajuan dan penataan wajah kota. Ia menjadi saksi perubahan, tempat warga berinteraksi, dan kebanggaan daerah yang menghidupkan kawasan Menara Pakaya Tower Limboto.
Namun kini, kata dia, simbol itu diruntuhkan tanpa penjelasan memadai, tanpa partisipasi masyarakat, tanpa rasa hormat pada sejarah.
“Kita tidak bisa menutup mata bahwa ini bukan sekadar penataan. Ini seperti upaya menghapus karya lama hanya karena ia lahir di masa pemerintahan sebelumnya,” ujar Andi Taufik, Ahad (26/10/2025).
Menurut Andi, tindakan pembongkaran ini memperlihatkan wajah lain dari politik lokal yang sering kali lebih sibuk membongkar warisan daripada melanjutkan yang baik.
Ia menilai, pembangunan di Gorontalo cenderung tidak berkesinambungan, karena setiap pergantian pemimpin diikuti dengan penghapusan simbol lama, seolah membangun “dari nol” demi kepentingan citra baru.
“Begitu satu kepala daerah berganti, semuanya dibongkar. Seolah yang lama tidak punya nilai, padahal uang rakyat yang dipakai membangun. Ini pemborosan, dan lebih jauh lagi ini ego politik,” tegasnya.
Andi juga menyebut fenomena ini sebagai bentuk “politik proyek simbolik”, dimana pembangunan lebih diarahkan untuk meninggalkan jejak visual kekuasaan daripada menjawab kebutuhan publik.
Andi menyebut, Air Mancur Limboto bagi mereka hanyalah satu contoh dari banyak warisan pembangunan yang hilang akibat siklus politik pendek pandangan.
“Yang paling disayangkan bukan hanya bangunannya, tapi mentalitasnya. Kalau setiap pemimpin ingin menghapus jejak pendahulunya, maka kota ini tak akan pernah punya identitas yang utuh,” ketus Andi.
Pemuda Kabupaten Gorontalo itu menilai, pembangunan seharusnya berlanjut sebagai hasil estafet visi, bukan sebagai ajang penghapusan memori kolektif.
“Air mancur itu dibangun dengan uang rakyat. Kalau mau menata ulang, mestinya ditingkatkan, bukan dimusnahkan,” jelasnya.
Kini, pembongkaran Air Mancur Limboto bukan lagi sekadar isu tata ruang. Ia telah berubah menjadi simbol benturan antara ego politik dan kesadaran publik.
Sementara warga kehilangan ruang kenangan mereka, daerah ini tampak kembali terjebak dalam siklus lama, membangun untuk menonjolkan kekuasaan, bukan untuk merawat kebersamaan.
“Air mancurnya sudah tiada. Tapi maknanya justru makin kuat sebagai pengingat bahwa kekuasaan bisa mengganti bangunan, tapi tidak bisa menghapus ingatan,” tutup Mahasiswa IAIN Gorontalo itu















