KERUSAKAN terumbu karang menjadi ancaman nyata bagi ekosistem laut, Salah satunya di dasar laut yang berada di Desa Botutonuo, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.
Barrier Reef (karang penghalang) yang berada disana sudah menjadi patahan karang mati yang kehilangan fungsinya sebagai rumah bagi ribuan biota laut. Kerusakan ini akibat aktivitas manusia, pencemaran, dan perubahan iklim.
Kini situasinya berubah, warna biru kembali memantul dari permukaan laut Barrier Reef. Di bawahnya, ribuan karang muda tumbuh di atas rangka baja heksagonal, yang merupaka upaya konservasi antara peneliti, pemerintah, dan masyarakat pesisir. Upaya ini terus berkelanjutan dengan lokasi dan metode yang terus dikembangkan.
Sebuah kisah pemulihan yang terus berlangsung di perairan Botutonuo. Perjalanan panjang memulihkan kembali terumbu karang disana bersama-sama, kolaborasi peneliti, pemerintah dan masyarakat pesisir.
Kisah Rehabilitasi Menghidupkan Kembali Terumbu Karang Botutonuo
Perairan Botutonuo yang dahulu disebut warga sebagai “laut mati” karena tak lagi terlihat ikan berenang, kini perlahan kembali hidup. Di sela-sela karang muda yang tumbuh di dasar laut, ikan-ikan kecil mulai menari, dan suara riuh anak-anak muda desa kembali terdengar di tepi pantai.
“Awalnya karang di situ sudah banyak rusak, dan menurut masyarakat memang tidak ada ikan lagi. Itu sebabnya kami memilih Botutonuo,” tutur Kepala Pusat Kemaritiman LPPM Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Prof. Dr. Femy Mahmud Sahami, saat diwawancarai di ruang kerjanya, Jumat (17/10/2025).
Prof. Femy menjelaskan, kisah pemulihan Botutonuo bermula pada tahun 2018, ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan program nasional rehabilitasi terumbu karang di berbagai wilayah Indonesia. Untuk Provinsi Gorontalo, pilihan lokasi jatuh pada Kabupaten Bone Bolango.
Upaya pertama dilakukan menggunakan media balok beton di kedalaman tiga meter. Dalam enam bulan, hasilnya mulai terlihat, jumlah individu dan spesies ikan meningkat signifikan, menandakan habitat mulai pulih.
Namun pada tahun 2020, pandemi COVID-19 membatasi aktivitas lapangan. Banyak meja beton tergeser arus, dan hanya sekitar 30 persen fragmen karang yang mampu bertahan hidup.
Tantangan berlanjut pada 2021, ketika area rehabilitasi diserang bintang laut berduri (Acanthaster planci) dan sebagian area rusak akibat pembangunan dermaga. Untuk mengatasinya, Prof. Femy bersama tim UNG dan masyarakat melakukan edukasi serta pelatihan pemberantasan predator karang.
Inovasi dan Transformasi Metode
Tahun 2022 menjadi titik balik program ini. Tim UNG bersama KLHK mengganti media rehabilitasi dengan rangka baja heksagonal berbentuk jaring (spider reef frame) di kawasan Barrier Reef Botutonuo, yang memiliki dasar laut berupa patahan karang (rubble) dan arus kuat.
“Sebanyak 85 unit spider reef dipasang di area seluas 115 m², dengan hasil pemantauan menunjukkan pertumbuhan rata-rata karang 1,72 cm dalam tiga bulan. Kehadiran ikan karang meningkat signifikan, menjadi indikator awal bahwa habitat mulai pulih,” jelas Prof. Femy.
Pada tahun 2023, mahasiswa UNG melakukan penelitian lanjutan. Dua jenis karang utama yang tumbuh dominan adalah Acropora tabulate (ACT) dan Acropora branching (ACB). Hasil observasi menunjukkan jenis tabulate tumbuh lebih cepat dan stabil dibanding jenis lainnya.
Momentum pemulihan berlanjut pada tahun 2024, ketika 150 unit spider reef tambahan dengan 1.050 fragmen karang Acropora ditanam di lokasi yang sama.
Pemantauan dua kali, yakni pada 22 Juni dan 6 Juli 2024, menunjukkan tingkat hidup 100 persen dengan pertumbuhan rata-rata 0,95 cm dalam dua bulan. Populasi ikan pun meningkat dari 704 menjadi 740 individu, terdiri atas 71 spesies dari 18 famili.
“Survei tahun 2024 menunjukkan peningkatan luas area karang hidup serta meningkatnya keanekaragaman ikan karang. Hasil ini juga seperti yang disampaikan oleh para nelayan dan warga pesisir serta tertuang dalam berbagai studi mahasiswa UNG yang memantau dua bentuk pertumbuhan karang Acropora branching dan Acropora tabulate,”ungkapnya.
Masyarakat Pesisir Garda Depan Selamatkan Karang Botutonuo
Dibalik keberhasilan pemulihan perairan Botutonuo, terdapat sosok penting bernama Alinton Pisuna, Ketua Kelompok Barrier Reef Botutonuo, yang menjadi motor penggerak konservasi.
Setiap akhir pekan sepanjang tahun, Alinton dan tim kecilnya turun ke laut memastikan karang-karang muda tetap hidup dan tumbuh, tidak butuh banyak alat hanya butuh alat selam sederhana, melihat rehabilitasinya dan mengganti jika ada yang rusak. Konsistensi ini dilakukannya dengan satu alasan, romantisme masa lalu.
“Dulu waktu saya kecil, terumbu karang di sini indah sekali. Ikan melimpah, laut bersih. Tapi lama-lama semua rusak. Ada pengeboman, penangkapan tak ramah lingkungan, dan wisata pemandian yang merusak karang,” kenangnya.
Kesadaran itu mendorong Alinton terlibat aktif sejak tahun 2017, ketika UNG dan KLHK memulai program transplantasi karang. Sejak saat itu, ia memimpin tiga kali penanaman besar di area konservasi bersama 15 anggota kelompoknya. Mereka bekerja manual di kedalaman 5–7 meter menggunakan rangka spider web, tanpa alat selam lengkap.
“Kami belum punya alat scuba, jadi masih snorkeling. Kalau ada karang yang mati, kami ganti lagi. Setiap Sabtu dan Minggu kami turun untuk membersihkan lumut dan memastikan karang sehat,” ujarnya.
Tantangan besar datang dari alam. Gelombang besar dan pengerukan dermaga sempat menghancurkan 250 meja karang hasil penanaman tahun 2017–2018. Namun, Alinton tidak menyerah.
Pada 2022, ia memimpin kembali penanaman baru di area barrier reef dan berkoordinasi dengan DKP Provinsi Gorontalo serta akademisi kelautan agar kegiatan konservasi terus berlanjut.
Kini, kelompoknya rutin melakukan pemantauan biofisik bersama UNG dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo. Mereka juga menggandeng sekolah-sekolah, termasuk Brillikids Leadership Elementary School, untuk mengajak anak-anak menanam karang secara langsung.
“Anak-anak datang dengan semangat. Bibitnya dari kami, mereka tanam sendiri. Itu bagian dari edukasi juga, supaya generasi muda tahu pentingnya laut,” tambah Alinton.
Atas dedikasi dan kiprahnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menganugerahkan gelar “Local Hero Konservasi Laut” kepada Alinton Pisuna pada tahun 2024, menjadikannya perwakilan pertama dari Gorontalo yang menerima penghargaan tersebut.
“Saya hanya ingin laut ini kembali seperti dulu sebagai tempat kami mencari makan dan tempat anak-anak kami belajar,” tuturnya.
Edukasi dan Regenerasi Cinta Laut
Bukan hanya nelayan dan peneliti yang belajar dari laut Botutonuo. Setiap tahun, puluhan siswa dari SD Brilli Kids Leadership Elementary School datang dengan seragam dan semangat kepemimpinan untuk menanam karang bersama kelompok masyarakat. Kepala Sekolah, Ika Rahmawati Hadikum percaya bahwa kepemimpinan sejati dimulai dari pengalaman nyata.
“Kami ingin anak-anak tidak hanya pintar di kelas, tapi juga punya empati pada alam. Karena itu, kami ajak mereka menanam terumbu karang bersama Pak Alinton,”ujarnya.
Anak-anak terlebih dahulu belajar teori tentang ekosistem laut dari dosen Fakultas Kelautan UNG, lalu melakukan penyelaman dangkal untuk menanam bibit karang yang disediakan kelompok Barrier Reef.
“Ketika mereka melihat karang hidup di bawah laut, ada rasa bangga. Mereka jadi tahu, menjaga alam itu bukan wacana, tapi tindakan,” kata Ika.
Program ini telah berjalan tiga tahun dan menjadi simbol edukasi kolaboratif antara sekolah, akademisi, dan masyarakat. Dari situlah lahir generasi muda yang tak hanya cerdas, tetapi juga cinta laut dan peduli lingkungan.
Dukungan Konservasi di Perairan Botutonuo
Kesuksesan Botutonuo juga tak lepas dari dukungan Pemerintah Provinsi Gorontalo. Menurut Syafrie A.B. Kasim, Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan DKP Provinsi Gorontalo, kawasan Teluk Gorontalo, termasuk Botutonuo, telah ditetapkan sebagai zona konservasi prioritas.
“Di Botutonuo ada barrier reef yang menjadi penyangga alami dari abrasi. Karena itu, kami dorong program konservasi di sana, termasuk pembuatan terumbu karang buatan dan pemberdayaan kelompok masyarakat,” ujar Syafrie.
Pemerintah juga memfasilitasi kelompok penggiat lingkungan seperti Barrier Reef Botutonuo untuk memperoleh bantuan melalui program nasional Laut Sejahtera (Lautra) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Bantuan tersebut mencakup peralatan selam dan pelatihan monitoring biofisik, agar masyarakat mampu memantau sendiri kesehatan laut mereka.
Kini, laut Botutonuo bukan lagi tempat sunyi. Dari dasar laut terdengar bisik kehidupan baru, suara arus yang menyapa karang muda, ikan kecil yang bersembunyi di antara celah, dan tawa anak-anak sekolah yang bermain di pesisir.
Satu karang tumbuh, satu ikan kembali, satu harapan lahir. Dari Botutonuo, Gorontalo mengirim pesan kepada dunia bahwa ketika pengetahuan, pemerintah, dan masyarakat bersatu, laut tidak hanya bisa diselamatkan, tetapi bisa hidup kembali.











