Share :
HESTEK.CO.ID – Aroma dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pengadaan obat-obatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) MM Dunda Limboto menyengat kepermukaan.
Hal itu terkuak pasca adanya laporan ke Mapolres Gorontalo yang dilayangkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Provinsi Gorontalo, 9 Januari 2024 lalu.
Koordinator BEM Provinsi Gorontalo, Man’uth Ishak, yang dikonfirmasi membenarkan adanya laporan tersebut. Ia menuturkan beberapa laporan telah disampaikan guna dilakukan penelusuran atas dugaan korupsi di rumah sakit milik Pemerintah Kabupaten Gorontalo itu.
“Betul kami BEM Provinsi Gorontalo telah melaporkan dugaan kasus tindak pidana korupsi atas pengadaan obat-obatan di RSUD MM Dunda Limboto ke Polres Gorontalo,” kata Man’uth, Senin (5/2/2024).
Dalam laporannya Man’uth mengungkapkan, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2022 terhadap pengelolaan persediaan 38 jenis obat-obatan dan BMHP senilai Rp1.3 miliar berpotensi kedaluwarsa dalam waktu kurang dari 24 bulan.
Hal itu kata dia, tidak sesuai dengan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.0I/MENKES/238/2017 tanggal 8 Juni 2017 tentang kriteria batas kadaluwarsa obat, sebagaimana pengadaan obat dan perbekalan Kesehatan yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 112 l/MENKES/SK/XIl/2008.
“Yaitu obat dan perbekalan kesehatan yang diadakan mempunyai batas kedaluwarsa paling sedikit dua tahun pada saat diterima,” jelas Man’uth.
Lebih lanjut Man’uth menjelaskan dalam temuan BPK, RSUD MM Dunda juga tidak melakukan rekap mutasi keluar masuk obat dan BMHP secara berkala. Sehingga hasil pemeriksaan uji petik menunjukkan pengelolaan obat-obatan dan BMHP belum memadai.
BPK, kata dia, juga tidak dapat melakukan pengujian terhadap nilai saldo persediaan obat dan BMHP yang dilaporkan per 31 Desember 2022 pada unit Farmasi I dan 2 RSUD MM Dunda Limboto, dikarenakan penanggungjawab pada masing-masing unit tersebut tidak memiliki rekapan jumlah obat yang keluar pada tahun 2023 dan sampai dengan pemeriksaan berakhir.
Man’uth menuturkan, masing-masing penanggungjawab unit dalam temuan BPK juga tidak dapat menyampaikan seluruh bukti keluar obat-obatan dan BMHP pada tahun 2023, sehingga tidak dapat dihitung mundur hingga diperoleh saldo per 31 Desember 2022.
“Akibatnya persediaan obat-obatan pada unit Farmasi 1 dan 2 senilai Rp595 juta lebih tidak dapat diuji oleh BPK,” bebernya.
Atas hal itu Mantan Presiden BEM Universitas Gorontalo itu meminta Polres Gorontalo benar-benar melakukan penelusuran atas indikasi dugaan korupsi pengadaan obat-obatan tersebut.
“Kami juga mengucapkan terimakasih pada pihak kepolisian yang sudah menindaklanjuti laporan kami dan berharap kasus ini akan terus diproses,” tandasnya.
(hsk/oyi)