Opini  

Jalan Terjal Reformasi KUHAP

REDAKSI
Endrianto Bayu Setiawan, Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Peneliti Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB).
 

Contohnya, pembentukan KUHP Nasional yang kala itu proses pembentukannya minim melibatkan aspirasi publik seperti NGO. Situasi serupa juga terjadi saat revisi UU KPK disahkan pada tahun 2019 yang memicu gelombang demonstrasi masyarakat sipil karena dianggap melemahkan komitmen pemberantasan korupsi oleh KPK.

Fenomena ini oleh Kim Lane Scheppele digambarkan sebagai autocratic legalism yakni penggunaan instrumen hukum yang lebih berorientasi pada kepentingan kekuasaan ketimbang kepentingan rakyat, bahkan dengan cara-cara yang menyimpang dari prinsip demokrasi (destroying democracy by law). Sementara itu, Zainal Arifin Mochtar menggambarkan praktik ini sebagai “legislasi ugal-ugalan” yang mencerminkan ketergesaan dan minimnya akuntabilitas dalam proses pembentukan hukum.

banner 120x600

Ambisi DPR yang begitu kuat menyelesaikan RKUHAP di tahun ini membuka asumsi masyarakat bahwa prosesnya akan dilakukan secara tertutup dan nihil partisipasi. Saat ini pun, Naskah Akademik dan draft RKUHAP masih belum dibuka ke publik, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mengkritisi proses legislasi yang berlangsung di DPR. Sekecil apapun proses pembahasan RKUHAP tidak boleh dilakukan secara tertutup. Seperti yang disuarakan Koalisi Masyarakat Sipil, apabila proses pembentukan RKUHAP dilakukan tanpa partisipasi publik, tepat rasanya menggaungkan #TolakRKUHAPGelap! 

Perlu ditekankan proses legislasi pembaruan KUHAP harus mencerminkan prinsip negara hukum yang demokratis dengan cara membuka ruang partisipasi masyarakat. Aspirasi publik harus diserap secara adil dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat sipil (NGO), akademisi, hingga kelompok masyarakat rentan (vulnerable people). Partisipasi yang luas ini sangat krusial agar kepentingan semua pihak terakomodasi tanpa diskriminasi, sehingga pembaruan KUHAP memiliki legitimasi publik sekaligus basis moral penegakan hukum yang kuat. 

Mahkamah Konstitusi pernah menegaskan dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, bahwa meaningful participation dalam pembentukan undang-undang harus memenuhi tiga indikator, yaitu: (1) hak masyarakat untuk didengar pendapatnya (right to be heard); (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau tanggapan atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Lebih dari sekadar perbaikan prosedural, perubahan dalam hukum acara pidana juga harus merefleksikan pergeseran nilai-nilai fundamental dalam cara negara menangani kejahatan, melindungi hak individu, serta mengatur kewenangan aparat penegak hukum. Oleh karenanya, RKUHAP “baru” bukan hanya kebutuhan normatif, tetapi juga pijakan untuk membangun sistem peradilan pidana yang modern, inklusif, dan berkeadilan.

Berbagai persoalan klasik—seperti ketidakpastian dalam penyidikan, lemahnya perlindungan bagi saksi dan korban, serta masih dominannya pendekatan represif—harus diperbaiki dengan pendekatan yang lebih progresif dan berorientasi pada prinsip hak asasi manusia, utamanya prinsip due process of law dan fair trial. ***

Penulis : Endrianto Bayu Setiawan – Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Peneliti Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB)