Share :
WAJAH politik Indonesia semakin menua. Saat Indonesia baru merdeka, usia presiden dan pemimpin politik kala itu rata-rata 40-an tahun. Namun, sejak pascareformasi hingga hari ini, usia presiden di atas 50 tahun.
Pada pemilu 2024 mendatang, dari tiga nama bakal calon presiden yang sudah deklarasi, semuanya berusia di atas 50 tahun: Ganjar Pranowo (54 tahun), Prabowo Subianto (71 tahun), dan Anies Baswedan (54 tahun).
Penuaan juga terjadi di parlemen. Pada 2009-2014, proporsi usia anggota legislatif di atas 50 tahun sebanyak 40 persen. Lalu, pada 2014-2019, jumlahnya meningkat menjadi 45,7 persen. Dan sekarang, jumlahnya sudah melebihi separuh (55 persen).
Dalam Indeks Demokrasi yang disusun oleh Economist Intelligence Unit pada 2022, Indonesia berada di peringkat ke 101 dari 147 negara dalam hal regenerasi politik.
Rata-rata usia anggota parlemen di Indonesia dari hasil kajian tersebut ialah 51,6 tahun. Hanya 26,3 persen anggota DPR Indonesia yang berusia 45 tahun ke bawah.
Lalu, ke mana politik kaum muda, yang selalu hadir dalam setiap persimpangan sejarah Indonesia sejak awal abad ke-20 hingga reformasi 1998?
Kekuatan politik atau sekadar demografi?
Usia muda kini mendominasi populasi Indonesia. Data sensus 2020 mencatat, jumlah populasi generasi milenial dan Z mencapai 144,8 juta atau 53,81 persen dari total penduduk Indonesia.
Dalam konteks elektoral pun mendominasi. Merujuk data KPU, dari 204,8 juta pemilih pada pemilu 2024 mendatang, sebanyak 56,5 persen di antaranya adalah pemilih berusia bawah 40 tahun ke bawah.
Perubahan demografis harusnya membawa perubahan politik. Jumlah signifikan pemilih muda harusnya menyumbang semakin banyak anak muda yang duduk di cabang-cabang kekuasaan.
Pada kenyataannya, merujuk pada data Inter-Parliamentary Union (IPU) pada April 2023, hanya 26,3 persen anggota DPR Indonesia yang berusia 45 tahun ke bawah. Sementara yang berusia 30 tahun ke bawah jumlahnya lebih kecil lagi: hanya 3,83 persen.
Pada level pemilihan lokal, situasinya tak lebih baik. Berdasarkan catatan Perludem pada Pilkada 2020, hanya 20 kepala daerah terpilih dan 17 wakil kepala daerah terpilih yang berusia kurang dari 34 tahun. Jumlah itu hanya 13,7 persen dari total daerah yang menyelenggarakan Pilkada.
Itu pun, jika mengulik asal-usul keluarganya, mereka tak jauh-jauh dari kerabat politik yang sedang berkuasa, baik di nasional maupun lokal. Jumlah kekayaan mereka berada di median Rp 10,7 miliar.
Tentu saja, mereka jauh dari kehidupan ekonomi mayoritas melimpah generasi milenial dan gen Z lainnya. Merujuk pada data BPS 2017, pendapatan rata-rata milenial di Indonesia hanya Rp 2,1 juta.
Parpol-parpol di Indonesia juga didominasi orang tua. Hanya ada dua partai politik, yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Ummat, yang Ketua Umumnya masuk kategori milenial.
Kendati mendominasi usia populasi dan jumlah pemilih, tetapi jumlah anak muda yang menduduki cabang-cabang kekuasaan masih sangat sedikit. Keunggulan demografis belum menjelma sebagai kekuatan politik.
Rintangan politik
Persoalannya, anak muda bukan tak mau berpolitik. Buktinya, angka partisipasi pemilih muda justru sangat tinggi.
Hasil survei CSIS menunjukkan, sebanyak 85,9 persen anak muda mengaku menggunakan hak pilih pada pemilu 2014. Angka tersebut meningkat pada 2019 menjadi 91,3 persen.
Mari lihat kenyataan lain. Setidaknya, kalau melihat tahun 2019 dan 2020 lalu, ada momentum anak-anak muda tumpah-ruah ke jalan-jalan di hampir semua kota/kabupaten di Indonesia.
Majalah Tempo dan BBC menyebut demonstrasi itu sebagai yang terbesar setelah reformasi 1998. Mereka menggugat korupsi, konservatisme politik, dan dominasi oligarki.
Jadi, anggapan bahwa anak muda tidak menyukai politik masih perlu diperdebatkan.
Menurut saya, anak muda bukan enggan berpolitik, melainkan ruang politik Indonesia yang kurang terbuka bagi partisipasi kaum muda.
Memasuki gelanggang politik Indonesia tidaklah seperti berjalan melenggang bebas memasuki arena. Faktanya, ada banyak rintangan yang membuat politik Indonesia hanya bisa dimasuki anak muda keturunan darah biru (politik dinasti), keturunan kaya-raya, atau punya popularitas.
Pertama, persyaratan parpol peserta pemilu sangat berat, rumit, dan berbiaya mahal. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengutip hasil penelitian Dr Marcin Walecki, ilmuwan politik asal Polandia, persyaratan parpol berbadan hukum sekaligus peserta pemilu di Indonesia merupakan yang terberat dan termahal di dunia.
Menurut penelitian Walecki, biaya yang diperlukan agar parpol menjadi peserta pemilu berkisar antara 10-15 juta dollar AS atau Rp 150-225 miliar.
Beratnya persyaratan parpol menuntut biaya yang sangat besar pula. Hal itu mempersempit peluang anak muda untuk menghadirkan parpol baru, terutama yang dibangun dari bawah dan berbasis gerakan sosial.
Kedua, parpol di Indonesia mengidap penyakit feodal: politik dinasti. Hampir semua parpol di Indonesia terjangkit penyakit politik dinasti. Kekuasaan tertinggi partai dipegang satu keluarga dan diwariskan turun-temurun.
Politik dinasti menutup peluang anak-anak muda Indonesia yang bukan keturunan darah biru politik untuk membangun karier politiknya di partai. Politik dinasti juga menutup peluang hadirnya gagasan baru.
Ketiga, politik yang transaksional dan berbiaya tinggi. Hasil riset menunjukkan, caleg DPR RI harus menyediakan dana minimal Rp 1 miliar – Rp 2 miliar, DPRD provinsi Rp 500 juta – Rp 1 miliar, dan DPRD kabupaten/kota Rp 300 juta.
Biaya politik yang mahal tentu saja memupuskan kesempatan banyak anak muda untuk berkiprah dalam politik. Sebab, tidak semua anak muda Indonesia kaya-raya.
Keempat, politik yang bertumpu pada figur/tokoh. Politik yang bersandar pada figur mengedepankan popularitas. Mereka yang digaet oleh partai, lalu diusung sebagai tokoh atau kandidat, adalah mereka yang populer dan berpotensi punya elektabilitas tinggi.
Akibatnya, pendekatan parpol pada anak muda sangat pragmatis: hanya mengejar artis dan influencer. Harapannya, artis dan influencer ini bisa mendatangkan efek ekor jas pada parpol bersangkutan.
Kelima, konstruksi politik Indonesia yang makin oligarkis, ditandai dengan munculnya elite kaya raya yang mempergunakan kekayaannya untuk mendominasi politik, termasuk menguasai parpol.
Oligarki membuat kehidupan politik menjadi terdominasi oleh segelintir elite, sehingga muncul istilah: lu lagi, lu lagi. Oligarki membunuh demokrasi dan regenerasi kepemimpinan di dalam partai.
What’s to be done?
Seruan parpol maupun pemerintah agar anak muda mau berpolitik, jika tidak disertai usaha membuka ruang politik agar semakin terbuka, kompetitif, dan inklusif, tidak lebih seperti raungan knalpot yang mencari perhatian di jalan raya.
Untuk itu, ada kebutuhan untuk melonggarkan syarat parpol peserta pemilu, mendemokratiskan kehidupan parpol, pembatasan biaya kampanye, penghapusan ambang batas parlemen dan pencalonan presiden/wapres, dan mempertimbangan kebijakan affirmative action untuk kaum muda pada kepengurusan parpol dan pengajuan calon legislatif.
Namun, anak muda perlu mengingat petuah Sukarno muda saat masih menggandrungi pemikiran Karl Marx: “Tak pernah suatu klas mau melepaskan hak-hak istimewanya dengan kemauan sendiri atau sukarela”.
Jadi, ada kebutuhan bagi anak muda untuk mendobrak sendiri struktur politik yang ada, dengan memperjuangkan sistem kepartaian dan pemilu yang semakin demokratis, terbuka, dan inklusif.
Selain itu, anak muda perlu menghadirkan terobosan politik: mendirikan parpol baru.
Di beberapa negara Asia, anak muda berhasil mendobrak kemapanan politik negerinya lewat kehadiran partai baru, seperti Partai Bergerak Maju (Move Forward Party) di Thailand, Ikatan Demokratik Malaysia (Malaysian United Democratic Alliance/MUDA) di Malaysia, dan Partai Kekuatan Baru/New Power Party (NPP) di Taiwan.
Merujuk dari berbagai survei, seperti Indikator dan KedaiKopi, generasi milenial dan Z sedang gelisah dengan isu perubahan iklim, korupsi, lapangan kerja, revolusi teknologi, perlindungan data pribadi, dan kesetaraan gender.
Sayangnya, parpol-parpol arus utama jarang menyentuh dan mengangkat secara serius isu-isu itu.
Isu-isu itu bisa menjadi, meminjam istilah Chantal Mouffe, “rantai kesamaan” (Chain of equivalence), menjahit anak muda yang datang dari sektor sosial dan profesi yang beragam, dari mahasiswa/pelajar, aktivis sosial, buruh, pengusaha, influencer, jurnalis, pekerja NGO, dan lain-lain.
Partai baru ini harus membawa tradisi baru pula ke dalam politik Indonesia: inklusif, demokratis, sadar teknologi, kreatif, dan inovatif.
Kalau itu bisa terjadi, kita bisa berujar: orang tua akan bernostalgia, sementara anak muda menciptakan sejarah baru. ***
Rudi Hartono - Penulis Lepas dan Pendiri Paramitha Institute