Post ADS 1
Opini  

Layakkah, Bupati Nelson Pomalingo Terima “Pulanga”…???

Potret Gelar Adat di Kabupaten Gorontalo. [Istimewa]
banner 120x600
 

BEREDAR kabar bahwa Bupati Kabupaten Gorontalo Profersor Nelson pomalingo, ingin mendapatkan kembali gelar yang memparipurnakan pada karir kepemimpinannya. Hal ini dibuktikan dengan penganggaran prosesi pemberian gelar adat “Pulanga” untuk Tahun Anggaran 2023 ini.

Patut disambut positif, sebab setelah dua kali gagal mendapatkan gelar yang hanya dikhususkan untuk pemimpin berakhlak, Nelson Pomalingo, sepertinya mempunyai harapan untuk mengembangkan senyuman dengan sumringah.

Gorontalo menjadi salah satu daerah adat, yang kental dengan nilai-nilai kearifan lokalnya. Memiliki karakter kuat yang bersumber dari budaya masyarakat, menjadi kekuatan transformasional yang hebat diera kemajuan secara global. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, menjadi modal keunggulan kompetetif dan komparatif secara luas.

Ketua Forwaka Gorontalo Periode 2023-2026, Jeffry Rumampuk. [Dok Forwaka]

Prosesi penobatan kepemimpinan Gorontalo atau yang kita kenal dengan sebutan “Pulanga”, merupakan filosofi yang mengandung dimensi karakter secara komprehensif. “Pulanga” bermakna selalu mengupayakan peningkatan peran kepemimpinan lokal untuk kesejahteraan rakyat, serta mendorong terciptanya sikap serta perilaku hidup individu yang menekankan keselarasan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Allah SWT, dalam melaksanakan aktivitas hidup dan kehidupan.

“Pulanga” merupakan upacara adat masyarakat Gorontalo yang berhubungan dengan acara penobatan. “Pulanga” ini berupa pemberian gelar adat yang dilakukan kepada orang yang masih hidup, biasanya diberikan kepada mereka yang menduduki jabatan penting mulai dari tingkat Kecamatan, Daerah bahkan ditingkat Provinsi.

“Pulanga” merupakan upacara adat yang resmi yaitu pemberian atau penganugrahan titel atau gelar jabatan. Di samping itu, terdapat pula gelar yang diberikan kepada orang-orang yang sudah meninggal dengan sebutan dengan Gara’i.

Pada hakikatnya, “Pulanga” mengukur seseorang dalam jabatannya sebagai sumber pola anutan dalam setiap aktivitasnya (o oliyo o) sebagai pemimpin yang dipercaya rakyat. Bahkan, Pemberian pulanga itu sendiri mengandung tanggung jawab yang berat bagi yang bersangkutan, bukan saja di dunia tapi juga di akhirat kelak. Sangat dianjurkan agar seorang pemimpin itu adalah seorang agamawan agar pertimbangan dan kebijakannya seimbang antara akal dan hukum Islam.

Bahkan, karena luasnya wilayah kekuasaan seorang “Olongia” (penguasa), sehingga pada setiap pelantikannya, pasti dikukuhkan dengan kata-kata bijak atau Tuja’i agar tidak berbuat sewenang-wenang.

Tulu-tulu lo ito Eya. (Api-api milik tuanku)
Dupoto, dupoto lo ito Eya. (Angin-angin milik tuanku).
Tawu, tawu lo ito Eya. (Rakyat-rakyat milik tuanku).
Bo dia poluliya hilawo, Eyanggu. (Tapi jangan sewenang-wenang, tuanku).

Demikian kata–kata bijak yang selalu diucapkan para pemangku adat. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan yang dimiliki tidak terbatas, punya wewenang yang luas namun tidak juga melakukan hal bersifat sewenang-wenang.

Kewenangan ini, disebut dalam bahasa Gorontalo yang disebut “Datahu Lo Huntu huidu”, yang artinya Dataran Menjunjung Gunung yang mengarah pada kekuasaan yang otoriter, dalam artian yaitu semuanya tunduk kepada penguasa dan segala keputusannya didukung oleh adat.

Gelar adat pulanga tidak sembarangan diberikan kepada seseorang, Artinya tidak semua orang bisa mendapatkan gelar tersebut. Pemberian gelar sapaan berdasarkan pulanga, hanya khusus diberikan kepada golongan pemerintah, pemangku adat, agamawan, dan para pengaman prosesi peradatan.

Adapun sistem pemberian gelar “Pulanga” mencakup tahapan-tahapan yang dalam istilah adat disebut dengan “Pohutu Momulanga”. Pelaksanaannya pun berhubungan dengan beberapa faktor serta persyaratan yang mengacu kepada yang berhak menerima, tempat pelaksanannya, para pelaksana kegiatan, perlengkapan yang diperlukan serta prosesi pelaksanannya.

Namun, pada pelaksanaan pemberian gelar adat tersebut, terdapat Sebelas larangan adat yang harus dan wajib ditaati oleh calon penerima adat tersebut. Dimana, larangan itu menjadi persyaratan utama layak atau tidak si calon itu menerima gelar adat yang sakral menurut orang Gorontalo.

Yang pertama adalah “Totala Lambango”, yang pada pengertiannya adalah Kejahatan Melanggar Keamanan Negeri, Keamanan Raja, Melanggar Asusila, Membunuh, Mencuri Dan Lain-Lain. Larangan yang berikut adalah “Totala Balayo”, sebuah larangan untuk tidak melakukan penghinaan, fitnah dan sejenisnya.

Selanjutnya adalah “Totala Butota”, yang artinya sang calon dilarang untuk melawan perintah pejabat, melawan perintah menanam padi dan melawan membersihkan kebun.

“Totala Huntala” adalah larangan yang keempat. Kurang lebih mempunyai makna larangan seperti melakukan sumpah palsu, melanggar asusila, melakukan pemerasan dan sejenisnya.
“Totala Lumudu” adalah larangan yang memiliki arti seperti mencemarkan nama pejabat atau penghinaan yang tidak langsung.

Larangan berikutnya adalah “Totala Huta-hutanga”, memiliki arti dilarang membuka rahasia orang, merusak tanaman sendiri, perceraian dan sejenisnya. “Totala Balango”, mengartikan larangan seperti melakukan pemerkosaan, melanggar hak orang dan sejenisnya. Selanjutnya, adalah “Tolala Balalo”, yang memiliki arti seperti selalu suka ribut, berkata tidak Sopan, dengki terhadap sesama, gila hormat dan sejenisnya.

Kesembilan adalah “Totala Nungo”, sebuah larangan yang memiliki arti seperti larangan mengambil ternak atau tanaman orang lain dalam perjamuan.

Larangan yang kesepuluh adalah “Totala Lumbulo”, artinya seperti termasuk kesalahan yang tidak disengaja dan memiliki sifat ringan saja. dan yang terakhir adalah “Totala Bunulo”, dimana calon penerima gelar adat itu, tidak bisa yang dengan sengaja berbuat kesalahan.

Selain itu juga, dimensi pendidikan karakter yang perlu di kembangkan dalam pesan ’pulanga’ ini adalah, bahwa apapun bentuk kekuasaan yang dimiliki, oleh Raja atau Kepala Daerah adalah amanah dari rakyat dan wajib untuk dipertanggungjawabkan.

Dimana, hal itu dapat terwujud dalam tutur kata, sikap dan niat dari calon penerima itu sendiri. Kemudian, pada “Tujai” atau petuah lainnya juga menegaskan, bahwa ”Huhutu lo ta to ti taato”. “Bo tae-tae ti huhutu lo ta ti bawa’” yang artinya dalah tindakan orang-orang di atas/penguasa berlandaskan perbuatan orang-orang di bawah/rakyat.

Hal ini menjelaskan juga bahwa perbuatan yang dipertontonkan oleh pemimpin di berbagai lini baik itu Pemerintah, Tokoh Agama, Tokoh Perempuan dan Tokoh adat adalah refleksi dari perilaku rakyat/masyarakat atau yang dipimpinnya.

Terakhir, Persoalan layak atau tidaknya sosok sang Proklamator untuk meraih gelar adat tersebut dikembalikan pada para pemangku adat, yang sebelumnya telah melalui tahapan ditingkat pemangku adat, bate’ dan Buwatulo Towulongo dari masing-masing Kecamatan, karena hanya mereka yang dapat menilai, apakah Suami siri Ifana Abdurrahman itu layak tidak atau wajar tidak bisa mendapatkan gelar adat tersebut.

Seperti yang dikatakan Ketua Lembaga Adat Kabupaten Gorontalo, Subroto Duhe yang pada keterangannya mengatakan bahwa hasil musyawarah para pemangku adatlah yang akan menyimpulkan, Profesor Nelson sudah layak atau tidak wajar pada gelaran musyawarah ditingkat Kabupaten.

Pesan universal dikandung pada tulisan ini adalah, pentingnya membangun karakter masyarakat dan bawahan. Hal ini tentu berkaitan dengan harapan terwujudnya kepemimpinan yang berkarakter, jika masyarakatnya juga berkarakter.

Penulis : Jeffry Rumampuk - Ketua Forwaka Gorontalo